Mengajar Tidak Sesuai Disiplin Ilmu

    http://jakarta.tribunnews.com

    Ini pengalaman saya. Di awal tahun kelulusan saya sebagai sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Saya memenuhi panggilan dari seorang kepala Madrasah Ibtidaiyah yang kebetulan guru adik saya Aisyah. Apa lagi yang saya tunggu, toh lambat laun juga pasti saya akan mencari sekolah untuk saya mengajar. Undangan beliau saya penuhi sekalian membawa surat lamaran lengkap dengan lampirannya. Wawancara dilakukan selama 1 jam. Saya ditanya mengenai didiplin ilmu saya. Adakah prestasi yang saya kantongi. Hingga masalah keagamaan. Melalui jawaban saya, beliau memutuskan senin pagi saya sudah bisa bergabung di sekolah yangn beliau pimpin. Selembar kertas berisi jadwal mengajar beliau berikan sebelum upacara bendera dimulai. Sebelumnya tak ada kesepakan bahwa saya akan mengajar selain disiplin ilmu yang saya pelajari selama 4 tahun di kampus. saya mengajar kelas 1,2,3, dan 4. untuk Kelas 1 saya menjadi asisten guru untuk mata pelajaran matematika. Untuk Kelas 2, saya mengajar seni budaya Islam dan Kertakes. Untuk kelas 3 saya mengajar Sains dan IPA. Kemudian di kelas 4 saya mengajar bahasa Jawa. Terus,…bahasa indonesianya mana ????

    Kecewa rasanya. Saya harus mengajarkan semua mata pelajaran itu kepada siswa dengan cara mempelajarinya sehari sebelum jadwal mata pelajaran itu saya ajarkan. Atau malam hari sebelum besok saya ajarkan. Jujur saja, semua mata pelajaran itu adalah kelemahan saya selama menjadi siswa. Terutama bahasa Jawa, karena jelas berbeda dengan bahasa sunda :). Setelah beberapa bulan saya mengajar dengan “keterpaksaan dsn harapan”. Terpaksa harus mengajarkan mata pelajaran yang saya bisa pelajari namun belum tentu benar dalam penyampaiannya. Harapan bahwa suatu saat  nanti saya akan diberikan jam mengajar sesuai dengan disiplin ilmu yang saya pelajari. karena itu saya mau bertahan beberapa bulan. Sampai akhirnya, saya mendapat jam mengajar bahasa Indonesia untuk kelas 6. Walaupun hanya sebagai guru pengganti karena guru yang biasa mengajar sedang sakit. Betapa senangnya saya waktu itu. Sebelum pelajaran saya mulai. saya meminjam catatan bahasa Indonesia dari salah seorang siswa. Cukup terkejut, ketika membaca materi yang diajarkan tidak sesuai dengan kaidahnya. Selama 2 jam pelajaran saya gunakan membenahi materi yang kurang tepat penyampaiannya tersebut.

    Akhirnya di bulan ke 6 setelah UAS selesai. Saya putuskan mengundurkan diri. Dengan 2 alasan, yang pertama karena saya ingin mengajar sesuai dengan disiplin ilmu saya. Alasan kedua, saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri bahwa saya bisa mengajarkan IPA, SAINS, Matematika, dan Bahasa Jawa dengan benar. Mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu ternyata melelahkan. Jauh melelahkan dibanding saya harus membuat 1000 soal untuk ujian bahasa Indonesia :). Langkah saya berikutnya adalah memilih bimbingan belajar dan menjadi tentor. Yang menurut saya lebih jelas jam mengajarnya, siapa yang diajar, dan apa yang diajarkan :). Mengajar tidak sesuai disiplin ilmu adalah sebuah kesalahan fatal. Mohon maaf, banyak teman saya yang menjadi guru kelas di SD, yang harus mengajarkan semua mata pelajaran dari senin sampai sabtu. Kecuali mapel agama dan olah raga. JIka seperti ini lulusan PGSD bagaimana dong pak ? Bu? Dan banyak pula teman saya dari jurusan pendidikan bahasa Jepang yang merangkap sebagai guru bahasa Indonesia. Diikuti teman saya dari jurusan bahasa Inggris yang mengajar bahasa Indonesia. Pernahkan dipikir dampak dari mengajar tidak sesuai disiplin ilmu ? Dampak positifnya, menurut sebagian pengajar adalah supaya dapat jam mengajar lebih, sertifikasi bisa lancar hehe,…selebihnya mungkin dikatakan hebat oleh siswa. waaaah…bapak/ibu Ini keren ya,  pinter bahsa jepang, inggris, indonesia juga lhooo,..:). Kalau saya mah,..ga bisa ya ngapain maksa 🙂 Dampak negatifnya. Mungkin tanpa sadar kita sebagai pemilik disiplin ilmu tertentu telah menyakiti perasaan teman seprofesi yang lapaknya kita pakai. Misalnya saya, harus mengajarkan Matematika.

    Padahal ada lulusan S-1 Matem di sekolah yang sama. Selain itu, apa yang kita ajarkan kepada siswa tidak maksimal jika bukan ahlinya yang mengajarkan. Bisa jadi siswa akan merasa bingung. S-1 pendidikan bahasa Indonesia memang dikerucutkan untuk mendalami bahasa Indonesia selama 4 tahun. Begitupun dengan S-1 Pend. Matematika, IPA, Biolgi, dll. Berbeda dengan S-1 PGSD yang memang dicetak untuk menguasai kelas dengan segala isi dan pembelajarannya. Mereka lebih siap menguasai kelas dibandingkan S-1 bahasa Indonesia. Segala sesuatu yang sesuai dengan keadaan dan fungsinya akan jauh lebih baik, dibanding memaksakan sesuatu yang belum tentu baik jika dilakukan oleh mereka-mereka yang bukan ahlinya 🙂

    Berlangganan ke Blog via Email

    Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

    Bergabung dengan 150 pelanggan lain

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Eksplorasi konten lain dari Lara Asih Mulya, S.Pd.

    Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

    Lanjutkan membaca