Bismillah,…

    Sejenak berpikir, nulis apa ya ? tiba-tiba ada pesan whatsApp yang dikirim oleh teman saya. “Bun,..lagi apa?”. “Lagi setrika baju Mom, apa kabar ? ada cerita ?” jawab saya. “hehe suamiku mau nikah lagi “. Jawabnya ringan.

    Poligami,…ya poligami,…saya akan menulis tentang ini.

    Perbincangan saya dengan teman yang luar biasa itu terus berlanjut. Teman saya begitu ikhlasnya menceritakan perasaan yang dialaminya saat ini. “Aku ndak ada beban apa-apa, aku baik-baik saja. Yang mau dinikahin sama suamiku, temanku sendiri. Orangnya baik dan insyaallah sholihah. Malah aku yang nawarin ke suami supaya nikahin dia. Kasian, keadaannya sedang down. Dia juga belum punya anak, nah anakku dah mau 3, masih kecil-kecil pula. Semoga saja mau  bareng-bareng ngerawat anak-anak sama aku. Tapi temenku itu masih menolak, sepertinya sih ga mau nyakitin aku Bun. Tapi aku ndak tersakiti Bun, aku bener-bener pengen bantu dia”. Itu lah yang dia utarakan. Saya menangis membaca pernyataannya. Ternyata ada perempuan dengan pemikiran seperti ini.

    Ya Allah, saya benar-benar kagum dengan segala keikhlasan yang dia punya.  Andai itu saya bisakah saya bercakap seperti yang dia utarakan ? L Tak jarang perempuan yang mau dimadu dianggap oleh orang awam sebagai perempuan kurang sehat psikisnya. Yang sinting lah, bego’lah kurang kerjaan lah banyak deh. Semua ejekan itu Karena yang disuguhkan kepada masyarakat tentang poligami adalah penderitaan yang tiada henti.

    Poligami adalah hak semua suami. Bukan berarti berhak bisa melakukannya kapan saja dan dengan siapa saja. Jika lelaki yang hendak berpoligami haruslah dalam keadaan mampu lahir dan batin. Mendapat ijin dan ridho dari istri sebelumnya. Serta menikahi perempuan yang sholihah. Yang terpenting adalah niatnya.

    Kenapa ? banyak hal yang salah kaprah menurut saya. Ketika khalayak membicarakan “poligami”. Ketika remaja saya sering melihat sinetron religi yang maksudnya mengingatkan kepada pemirsanya tentang agama dan kehidupan sehari-hari. Suatu ketika pernah saya menyaksikan sinetron religi ini mengusung tema poligami.

    Ceritanya sih gitu-gitu aja, Seorang lelaki yang baik hati dan bertangggungjawab menikahi seorang perempuan sholihah yang sabar, penyayang, dan tidak banyak menuntut. Pernikahan mereka dikaruniai 2 anak, laki-laki dan perempuan. Karena suatu hal sang suami bertemu dengan perempuan lain, entah apa sebabnya, ia pun menikahi perempuan tersebut. Jadilah lelaki tersebut beristri lebih dari satu. Ini lah yang dipahami masyarakat secara umum.

    Sampai pada masa dimana istri keduanya dibawa pulang ke rumah untuk dikenalkan kepada istri sebelumnya. Istri sebelumnya terkejut, dalam hati tidak bisa menerima, tapi apa mau dikata nasi sudah menjadi bubur. Akhirnya mereka hidup dalam satu rumah. Ketika suami mereka pergi keluar kota, konflik rekayasa mulai terjadi. Pasti yang antagonis adalah istri muda yang penampilannya tidak agamis. Yang menjadi lemah adalah istri pertama yang seolah-olah tidak punya kekuatan untuk menolak penindasan. Yang bisanya Cuma nangis dan sholat.

    Saya paling sebel kalo sutradara sinetron sudah bikin adegan seperti ini. Pada kenyataannya tidak semua orang berpoligami seperti itu. Dan tidak semua istri-istri yang dipoligami saling membenci. Membenci lo ya bukan cemburu. Kalo cemburu mah wajar atuh J istri-istri nabi aja pada cemburuan kok.

    Masih banyak cerita tentang poligami yang saya dapat dikehidupan sehari-hari. Yang isinya bukan seperti sinetron. Nanti di part II ya 🙂

    Berlangganan ke Blog via Email

    Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

    Bergabung dengan 150 pelanggan lain

    2 Comments

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Eksplorasi konten lain dari Lara Asih Mulya, S.Pd.

    Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

    Lanjutkan membaca